Ini film Edwin kedua yang gw tonton sesudah Kebun Binatang/ Postcard from the Zoo tahun lalu. Agak-agak gitu sih (gw mau nyebut autis tapi kan sekarang ngga boleh ya kata itu dipake sembarangan). I mean okay I got it. Ini film tentang krisis identitas etnis Tionghoa di Indonesia. Tentang guncangan dan dilema yang mereka hadapi sebagai minoritas di sepanjang sejarah Republik ini. Tapi alurnya yang ajaib dijamin bakal bikin lo tersesat dan bingung. Seenggaknya sih itu kesan gw, jujur aja. Mungkin karena gw udah nonton Kebun Binatang, yang meski pun agak-agak juga, tapi kelihatan udah lebih solid dalam gambar maupun penyampaian ceritanya.
Babi Buta Yang Ingin Terbang adalah film pertama Edwin (CMIIW) yang dirilis Tahun 2008. Jadi udah lumayan lama juga, lebih dulu dari Kebun Binatang yang dirilis Tahun 2012. Butuh pengetahuan spesifik dan level berpikir metaforis yang tinggi untuk mencernanya. Ini karena filmnya penuh adegan simbolis yang bertaut dengan fragmen-fragmen memori kolektif masyarakat Tionghoa, khususnya para pembuatnya (kru film yang katanya sebagian besar Tionghoa, termasuk Edwin sendiri). Tapi makna dari sekian banyak simbol yang bertebaran itu pun sangat ambigu. Beruntung gw nontonnya di Goethe, dan setelah filmnya terjadi sesi tanya jawab langsung dengan Edwin yang lumayan mencerahkan mengenai apa sih maksud film ini sebenarnya.
Kalau boleh gw umpamakan, film-film besutan Edwin (baik Babi Buta Yang Ingin Terbang maupun Kebun Binatang) itu seperti sebuah instalasi seni kontemporer yang abstrak. Kelihatan unik, tidak lazim, misterius, juga cantik dengan caranya sendiri yang memberontak dari pakem-pakem umum. Pembuatnya mungkin sudah punya maksud-maksud tersendiri, tapi tiap penikmatnya juga bisa ikut mengkhayalkan arti-arti baru yang memperkaya penafsiran atas karya seni tersebut. Bebas juga untuk melempar kritik dan apresiasi, tentunya.
As a bonus, I met Mas Yulius on the spot! No plan at all. Then we spent the night talking about anything. It's weird yet funny how I always end up running across him in places like this. I still remember how I started to get to know him more after our unexpected meeting in a public lecture in Salihara some years ago. An old soul, he is. Much older than me. Somehow I gotta feeling that he's going to be a great philosopher someday.
No comments:
Post a Comment