Friday, February 27, 2015

Paramita



Di hari-hari ini, ketika berita penghancuran patung-patung kuno oleh ISIS di Museum Mosul beredar luas di media, ingatan saya melambung pada sosok arca dewi ini. Pradnya Paramita, boddhisatwa dalam tradisi Mahayana yang melambangkan kesempurnaan kebijaksanaan. Konon merupakan perwujudan Ken Dedes atau Gayatri, permaisuri pertama Majapahit. Sejak ditemukan kembali pada sekitar Tahun 1819 di reruntuhan Cungkup Putri, Malang, oleh seorang pegawai Hindia Belanda, sang dewi mulai dikenal sebagai ikon peradaban Hindu-Buddha di Nusantara. Dibuat replikanya di mana-mana. Dipuja sebagai puncak kehalusan budaya klasik Jawa. 

Arca ini adalah artefak kesayangan saya. Biasanya saya sebut Paramita, atau Mita saja. Kini dia bersemayam dengan tenang di lantai 2 Museum Nasional di Jakarta Pusat. Setiap kali berkunjung ke sana, saya selalu menyempatkan diri menyambangi arca ini. Saya suka berlama-lama di depannya, memandangi detail ukiran serta ragam perhiasannya. Lalu membayangkan seperti apa suasananya ketika arca ini masih duduk dalam kemegahannya berabad-abad silam.
Mungkin tidak semua orang mengerti perasaan ini. Bagi saya, benda-benda ini bukan sekadar batu tua. Mereka penghubung kita dengan masa lalu, dengan leluhur dan zaman-zaman yang tak akan pernah kita ketahui adanya tanpa benda-benda ini. Jika seluruh ras manusia diibaratkan satu tubuh, maka benda-benda sejarah adalah ingatannya. Hilangnya benda-benda ini berarti hilangnya ingatan ras manusia.

Mosul adalah jantung peradaban kuno. Lokasi reruntuhan Nineveh, ibukota Kerajaan Assyria yang penuh peninggalan tak ternilai, termasuk Perpustakaan Ashurbanipal yang menyimpan tablet Epik Gilgamesh dan Enuma Elish selama lebih dari 2.700 tahun. Saya benar-benar ingin menangis mendengar berita penghancuran patung-patung dan manuskrip kuno Mosul. Mengingatkan bahwa akal sehat tidak didapat begitu saja. Akal sehat perlu dirawat. Akal sehat perlu diperjuangkan. Karena akal sehat tidak diwarisi dalam informasi genetika. Kebijaksanaan tidak terakumulasi dalam ovum dan sperma. Setiap generasi harus memulainya lagi dari remah-remah. Bukan mustahil Paramita kelak akan bernasib sama jika Indonesia gagal merawat akal sehatnya. Turut berduka sedalam-sedalamnya untuk warga etnis Assyria, Irak, Timur Tengah, dan dunia yang kehilangan lagi sepotong ingatannya.

No comments:

Post a Comment